Headlines News :
Home » , , » Bercak Merah Pada Kulit

Bercak Merah Pada Kulit

Written By catatan-sugasetya on Sabtu, 08 Desember 2012 | 13.44


 

SKENARIO:  
Bintul-Bintul Merah Pada Kulit
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun dibawah oleh ibunya ke puskesmas karena pada seluruh tubuhnya timbul bintil-bintul merah yang gatal, dan muntah-muntah. Timbulnya bintul merah pada kulit anak ini sudah sering terjadi terutama pada musim hujan. Tidak ada demam.






1.      DEFENISI DARI URTIKARIA ATAU BINTUL-BINTUL MERAH PADA KULIT
Urtikaria adalah reaksi dari pembuluh darah berupa erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan menimbul (bentol), berwarna merah, memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik, atau berulang. Urtikaria akut umumnya berlangsung 20 menit sampai 3 jam, menghilang dan mungkin muncul di bagian kulit lain. Satu episode akut umumnya berlangsung 24-48 jam. Urtikaria dapat timbul tiap hari atau intermiten, lamanya beberapa menit sampai beberapa jam bahkan beberapa hari. Dapat terjadi pada semua umur baik laki maupun perempuan, dengan penyebab kadang jelas, namun sebagian besar penyebabnya sulit di ketahui. Sebagian dapat sembuh dengan sendirinya,Namun sebagian cendrung kumat- kumatan dan berkepanjangan, sehingga tidak jarang membuat penderita maupun dokter yang merawatnya agak frustasi/jenuh. Urtikaria yang timbul pada usia relative lebih muda/anak-anak, dan berkaitan dengan adanya riwayat atopi pada keluarga, reaksi alergi, dan umumnya sembuh dalam waktu kurang dari 6 minggu: disebut urtikaria akut.
Urtikaria merupakan penyakit yang sering ditemukan, diperkirakan 3,2-12,8% dari populasi pernah mengalami urtikaria.Urtikaria adalah erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan menimbul (bentol), berwarna merah,memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik,atau berulang. Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari (kurang dari 6 minggu)dan umumnya penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria kronik, yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan urtikaria berulang biasanya tidak diketahui pencetusnya dan dapat berlangsung sampai beberapa tahun. Urtikaria kronik umumnya ditemukan pada orang dewasa. Urtikaria juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu imunologi, anafilaktoid dan penyebab fisik. Reaksi imunologi dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II atau III. Sedangkan reaksi anafilaktoid dapat disebabkan oleh angioedema herediter, aspirin, zat yang menyebabkan lepasnya histamin seperti zat kontras, opiat, pelemas otot, obat vasoaktif dan makanan (putih telur, tomat, lobster). Secara fisik, urtikaria dapat berupa dermatografia, cold urticaria, heat urticaria, solar urticaria, pressure urticaria, vibratory angioedema, urtikariaakuagenik dan urtikaria kolinergik.
2.      ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
1.Obat
            Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.
2.Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
3.Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
4.Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5.Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya  insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
7.Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9.Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
10.Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominant.
11.Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.
PATOMEKANISME
MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT
·         Pada gangguan urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah dermal di bawah kulit dan edema (pembengkakan) dengan sedikit infiltrasi sel perivaskular, di antaranya yang paling dominan adalah eosinofil. Kelainan ini disebabkan oleh mediator yang lepas, terutama histamin, akibat degranulasi sel mast kutan atau subkutan, dan juga leukotrien dapat berperan.
·         Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit sehingga kulit      berwarna merah (eritema). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan kulit lokal. Cairan serta sel yang keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.
·         Bila pembuluh darah yang terangsang adalah pembuluh darah jaringan subkutan, biasanya jaringan subkutan longgar, maka edema yang terjadi tidak berbatas tegas dan tidak gatal karena jaringan subkutan mengandung sedikit ujung saraf perifer, dinamakan angioedema. Daerah yang terkena biasanya muka (periorbita dan perioral).
·         Urtikaria disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat terjadi melalui mekanisme imun atau nonimun.
·         Degranulasi sel mast dikatakan melalui mekanisme imun bila terdapat antigen (alergen) dengan pembentukan antibodi atau sel yang tersensitisasi. Degranulasi sel mast melalui mekanisme imun dapat melalui reaksi hipersensitivitas tipe I atau melalui aktivasi komplemen jalur klasik.
·         Faktor infeksi pada tubuh diantaranya infeksi viru (demam, batuk dan pilek) merupakan factor pemicu pada urtikaria yang paling sering terjadi namun sering diabaikan
·         Beberapa macam obat, makanan, atau zat kimia dapat langsung menginduksi degranulasi sel mast. Zat ini dinamakan liberator histamin, contohnya kodein, morfin, polimiksin, zat kimia,tiamin, buah murbei, tomat, dan lain-lain. Masih belum jelas mengapa zat tersebut hanya merangsang degranulasi sel mast pada sebagian orang saja, tidak pada semua orang.
·         Faktor fisik seperti cahaya (urtikaria solar), dingin (urtikaria dingin), gesekan atau tekanan (dermografisme), panas (urtikaria panas), dan getaran (vibrasi) dapat langsung menginduksi degranulasi sel mast.
·         Latihan jasmani (exercise) pada seseorang dapat pula menimbulkan urtikaria yang dinamakan juga urtikaria kolinergik. Bentuknya khas, kecil-kecil dengan diameter 1-3 mm dan sekitarnya berwarna merah, terdapat di tempat yang berkeringat. Diperkirakan yang memegang peranan adalah asetilkolin yang terbentuk, yang bersifat langsung dapat menginduksi degranulasi sel mast.
·         Faktor psikis atau stres pada seseorang dapat juga menimbulkan urtikaria. Bagaimana mekanismenya belum jelas.
PATOGENESIS
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate)  memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung  merangsang sel mast.
 Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter. 
GEJALA DAN TANDA
Ø  Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:
·         Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
·         Biduran berwarna merah muda sampai merah.
·         Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul seterusnya.
·         Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan nyeri  kepala.  
Ø  Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:
·         Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
·         Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.  
·          Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
·         Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan pigmentasi.
·         Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
·         Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema. 
3.      ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT
ANATOMI KULIT
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Lapisan luar kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau korium.
Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh dan bersambung dengan selaput lender yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk. Kulit mempunyai banyak fungsi; didalamnya terdapat ujung saraf peraba,membanu mengatur suhu dan mengendalikan hilangnya air dari tubuh dan mempunyai sedikit kemampuan exkretori, sekretori dan abrorpsi.
Kulit dibagi menjadi dua lapisan:
1. Epidermis atau kutikula
2. Dermis atau korium
  Epidermis tersusun atas epitalium berlapis dan terdiri atas sejumlah lapisan sel yang disusun atas dua lapis yang jelas tampak; selapis lapisan tanduk dan selapis zona germinalis.
Lapisan Epidermal. Lapisan tanduk terletak paling luar dan tersusun atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis. Stratum korneum. Selnya tipis, datar, seperti sisik dan terus-menerus dilepaskan. Stratum lusidum. Selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada intinya.Stratum granulosum. Selapis sel yang jelas tampak berisi inti dan juga granulosum. Zona Garminalis terletak dibawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapis sel apitel yang berbentuk tegas . Sel beduri, yaitu sel dengan fibrin halus yang menyambung sel yang satu dengan yang lainnya di dalam lapisan ini, sehingga setiap sel seakan-akan berduri. Sel basal, yang terus menerus memproduksi sel epidermis baru.

Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat yang elastic. Dermis tersusun papil-papil kecil yang terisi ranting-ranting pembuluh darah kapiler. Ujung akhir saraf sensoris, yaitu putting teraba, terletak didalam dermis.Kelenjar keringat ada yang disebut pori dan kelenjar serumen. Pelengkap kulit Rambut, kuku, dan kelenjar sebaseus dianggap sebagai tambahan pada kulit.
FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi, dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.
4.      MANIFESTASI KLINIS
·         Klinis tampak bentol (plaques edemateus) multipel yang berbatas tegas, berwarna merah dan gatal. Bentol dapat pula berwarna putih di tengah yang dikelilingi warna merah. Warna merah bila ditekan akan memutih. Ukuran tiap lesi bervariasi dari diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk sirkular atau serpiginosa (merambat).
·         Tiap lesi akan menghilang setelah 1 sampai 48 jam, tetapi dapat timbul lesi baru.
·         Pada dermografisme lesi sering berbentuk linear, pada urtikaria solar lesi terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Pada urtikaria dingin dan panas lesi akan terlihat pada daerah yang terkena dingin atau panas. Lesi urtikaria kolinergik adalah kecil-kecil dengan diameter 1-3 milimeter dikelilingi daerah warna merah dan terdapat di daerah yang berkeringat. Secara klinis urtikaria kadang-kadang disertai angioedema yaitu pembengkakan difus yang tidak gatal dan tidak pitting dengan predileksi di muka, daerah periorbita dan perioral, kadang-kadang di genitalia. Kadangkadang pembengkakan dapat juga terjadi di faring atau laring sehingga dapat mengancam jiwa.
·         Timbulnya bintik-bintik merah atau lebih pucat pada kulit. Bintik-bintik merah ini dapat mengalami edema sehingga tampak seperti benjolan.
·         Sering disertai rasa gatal yang hebat dan suhu yang > panas pada sekitar benjolan tersebut.
·         Terjadi angiodema, dimana edema luas kedalam jaringan subkutan, terutama disekitar mata, bibir dan di dalam orofaring.
·          Adanya pembengkakan dapat menghawatirkan, kadang-kadang bisa menutupi mata secara keseluruhan dan mengganggu jalan udara untuk pernafasan.
5.      PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:
·         Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
·         Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
·         Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
·         Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
·         Dermographism.
·         Didapatkan: penderita dengan kesan sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 92 x/menit reguler isi cukup, frekuensi pernafasan 20x/ menit dan tempratur aksila 37.8º C. Pada pemeriksaan kepala: tidak didapatkan kesan anemis maupun ikterus, sembab pada kedua kelopak mata / angioedema, bentol kemerahan dengan ukuran bervareasi dan gatal pada kulit muka. Pemeriksaan THT kesan tenang. JVP normal. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar limfe.
 
Gambar 2. Lesi di punggung
 
·         Pemeriksaan dada didapatkan ; bentuk dada normal, tersebar bentol kemerahan ukuran dan bentuk yangbervariasi tersebar diseluruh kulit dada dan punggung. Tersebar bentol kemerahan; ukuran dan bentuk bervareasi pada kulit dinding abdomen maupun pinggang, hati dan limfa tidak teraba. Ekstremitas tidak dijumpai edema, hanya ada bentol kemerahan; ukuran dan bentuk yang sangat bervariasi. Akral hangat tidak ada sianosis. Pemeriksaan Jantung dan Paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen; bentuk normal/agak buncit(gemuk ).
Gambaran Histopatologi
Pemeriksaan biopsi kulit (gambar 3); Makros : satu buah jaringan biopsi kulit diameter 4
mm, putih abu-abu, padat kenyal. Mikros : tampak jaringan biopsi kulit, epidermis menunjukkan hiperkeratosis ringan. Pada dermis tampak edema, dengan serbukan ringan sel radang. limfosit di perivaskuler ( vaskulitis ). Tidak tampak tanda ganas pada sediaan ini. Kesimpulan: gambaran ini bisa ditemukan pada urtikaria kronik.
 
6.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diperlukan pada urtikaria kronik/berulang, tidak diperlukan pada urtikaria akut. Pemeriksaan yang biasa dilakukan yaitu pemeriksaan urinalisis (mencari fokal infeksi di saluran kemih), feses rutin (mencari adanya parasit cacing), pemeriksaan darah tepi (LED dapat meningkat), pemeriksaan kadar IgE total, pemeriksaan hitung eosinofil total (eosinofilia), pemeriksaan uji kulit alergen ,dermografisme, uji tempel es atau IgE spesifik dan kadar komplemen (C3, C4) untuk mencari kelainan sistemik yang mendasari urtikaria, pada pasien yang memiliki riwayat angioedema pada keluarga.
7.      PENATALAKSANAAN
Edukasi pasien untuk menghindari pencetus (yang bisa diketahui). Obat opiat dan salisilat dapat mengaktivasi sel mast tanpa melalui IgE. Pada urtikaria generalisata mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000 dengan dosis 0,01 ml/kg intramuskular (maksimum 0,3 ml) dilanjutkan dengan antihistamin penghambat H1 seperti CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis sehari 3 kali yang dikombinasi dengan HCL efedrin 1 mg/tahun/kali sehari 3 kali. (Lihat penanggulangan anafilaksis). Bila belum memadai ditambahkan kortikosteroid misalnya prednison (sesuai petunjuk dokter). Pada urtikaria yang sering kambuh terutama pada anak sekolah, untuk menghindari efek samping obat mengantuk, dapat diberikan antihistamin penghambat H1 generasi baru misalnya setirizin 0,25 mg/kg/hari sekali sehari. hindari faktor-faktor yang dapat memicu (pada penderita ini : aktivitas fisik yangberlebih ). Medikamentosa : antihistamin generasi II : desloratadine 10 mg 1x perhari dan pada malam hari ditambahkan antihistamin generasi I : feniramine hidrogen maleat 25 mg 1x perhari. Dalam 1 minggu pengobatan tidak memberikan hasil yang memadai, di tambahkan methyl prednisolon 2 x 16 mg. Setelah 1 minggu pengobatan berangsur mulai ada perbaikan,
Pemberian antihistamine dilanjutkan dengan dosis yang sama, sementara dosis methyl prednisolon diturunkan menjadi 2 x 8 mg . Pada pengamatan 1 minggu berikutnya ; keluhan sudah jauh berkurang, dan lesi kulit minimal, dosis methyl prednisolon diturunkan menjadi 2x 4 mg, sementara dosis antihistamin lanjut. Pada saat kontrol 1 minggu berikutnya ; keluhan gatal dan bentol kemerahan kecil kadang muncul dapat pagi kadang juga sore pemicunya tidak jelas ; saat itu hanya diterapi dengan antihistamin saja, serta selalu memperhatikan faktor-faktor yang sekiranya mungkin sebagai pemicu kekambuhan walaupun sampai terakhir belum jelas.
8.      PENCEGAHAN
·         Pengobatan yang palin utama adalah ditujukan pada penghindaran faktor penyebab dan pengobatan simtomatik.
·         Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distres pernafasan, asma atau edema laring,mula-mula diberi larutan adrenalin 1% dengan dosis 0,01 ml/kgBB subkutan (maksimum 0,3 ml),dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat H1 (lihat bab tentang medikamentosa).Bila belum memadai dapat ditambahkan kortikosteroid.
·         Pada urtikaria akut lokalisata cukup dengan antihistamin penghambat H1.
·         Urtikaria kronik biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah tetap identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit dilakukan. Untuk ini selain antihistamin penghambat H1 dapat dicoba menambahkan antihistamin penghambat H2. Kombinasi lain yang dapat diberikan adalah antihistamin penghambat H1 non sedasi dan sedasi (pada malam hari) atau antihistamin penghambat H1 dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus
berat dapat diberikan antihistamin penghambat H1 dengan kortikosteroid   jangka pendek.
9.      PROGNOSIS
·         Pada umumnya prognosis urtikaria adalah baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat.
·         Tetapi karena urtikaria merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi obstruksi jalan nafas karena adanya edema laring atau jaringan sekitarnya, atau anafilaksis sistemik yang dapat mengancam jiwa.
·         Penyakit ini bisa remisi spontan pada 33,2% pasien.setelah 1 tahun 50% pasien menjadi bebas gejala. Tetapi penyakit ini dilaporkan bisa mencapai sampai 20 tahun pada 20% pasien 4,5,11.
·         Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
10.       EDUKASI
·         Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria perjalanan penyakit urtikaria yang kambuh- kambuhan dan tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat karena terkadang sulit untuk mengetahui penyebab urtikaria kronik.
·         Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alkohol, dan agen fisik.
·         Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.        

11.      JENIS HIPERSENSITIFITAS MENURUT GELL DAN COOMBS
REAKSI HIPERSENSITIFITAS
        Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
        Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.
         Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme Alergi Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
  1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
  2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
  3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I
  • Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
  • Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
  • Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
  • Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
  • Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
  • Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

KESIMPULAN
Ø  Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah dasar dari reaksi alergi dengan perantara IgE.
Ø  Alergi dapat membaik, dan dapat juga menetap seumur hidup.
Ø  Sifat alergi mempunyai kemungkinan diturunkan.
Ø  Diagnosis penyakit alergi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit, dan apabila perlu tes provokasi.
Ø  Cara terbaik menangani alergi adalah dengan menghindari alergen. Apabila perlu dapat digunakan antihistamin, kortikosteroid, dan imunosupresan.
DAFTAR PUSTAKA
v  Malcolm W G. Chronic urticaria ; pathophysiology, diagnosis and treatment. JACI – APAPARI. Joint Meeting 2006.
v  Retno W S. The Role of Non Sedating Antihistamine in Management of Chronic Idiopathic Urticaria. JACI – APAPARI. Joint Meeting 2006.
v  Javed S. Urticaria.Last Updated : November 19, 2004. E-Medicine 2004.
v  Kaplan AP. Chronic urticaria: Pathogenesis and treatment. J Allergy Clin Immunol 2004; 114:465- 74.
v  Kaplan AP. Chronic urticaria and angioedema. NEngl J Med 2002; 346:175-79.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Tentang Ku

Tujuh hal yang akan menghancurkan kita; kekayaan tanpa kerja, pengetahuan tanpa kerja, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.

Entri Populer

Recent Post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Sugasetya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger