Sehari sebelum pertandingan akbar lawan Malaysia di laga terakhir Grup B Piala AFF 2012 yang hampir menyerupai final itu, terlihat di Lapangan Institut Pendidikan Negara, Selangor, Malaysia, Nilmaizar mengusap keringatnya. Wajahnya tampak letih. Matanya waswas memandang anak asuhnya yang sedang berlatih. Mata yang terkesan menyimpan harapan sekaligus kekhawatiran.
Jumat, 30 November 2012, pukul 18.00 petang, suara adzan Magrib berkumandang di lobi Hotel Palace of Golden Horses. Nilmaizar pun sejenak meninggalkan anak asuhnya. Dengan harapan dan doa, ia meminta restu kepada Yang Mahakuasa agar kesuksesan selalu menyertai langkah tim nasional Indonesia.
Di selasar hotel, memakai celana bahan panjang putih dengan jaket merah bertuliskan Indonesia, Nimaizar terlihat tegar berjalan. Senyum tersimpul dari bibirnya. Sambil mengarah ke ruang makan, pelatih berusia 42 tahun itu berkata, "Tidak ada alasan takut kepada Malaysia. Semua tim sama. Kita akan berusaha tampil maksimal. Untuk hasil, kita serahkan sama Allah."
Pertandingan melawan musuh bebuyutan, Malaysia, adalah ujian terakhir timnas Indonesia di kualifikasi Grup B Piala AFF 2012. Tak perlu menang, satu poin pun sebenarnya sudah cukup bagi skuad "Garuda" untuk melenggang ke semifinal. Jika berhasil, prediksi sejumlah orang yang pesimistis dengan peluang Indonesia untuk lolos ke semifinal pun bisa terpatahkan.
"Setiap pemain dan pelatih pasti ingin menang. Tapi, saya selalu bilang kepada pemain, soal hasil itu urusan lain. Yang penting mereka bisa kerja keras sampai wasit meniup peluit panjang," katanya.
Sementara itu, keyakinan tinggi menyelimuti kubu lawan. Sehari sebelum laga, pelatih kepala Malaysia, K Rajagobal, berucap, "Saya ingin tim ini bermain seperti saat mengalahkan Laos (4-1). Kemenangan itu telah memberikan kepercayaan diri kepada pemain kami untuk mengalahkan Indonesia dalam pertandingan nanti."
Menjelang pertandingan akbar, memang sejumlah pemain dan staf pelatih kedua kubu terlihat tenang dalam hotel. Namun, di balik raut wajah mereka terpampang adanya ketegangan besar. Tidak lolos dengan status sebagai tuan rumah bagi Malaysia adalah malapetaka. Bagi Indonesia, tidak ada kata lain untuk berjuang mati-matian demi meraih secercah prestasi di tengah mati suri.
Berjuang
Pukul 20.35 malam, dua tim berbaris memasuki lapangan Stadion Bukit Jalil. Lagu nasional Malaysia menggema lebih dulu. Puluhan ribu ultras Malaya ikut bernyanyi sambil berdiri. Giliran lagu nasional Indonesia, suporter Indonesia tetap semangat melantunkan lagu "Indonesia Raya" meski jumlah mereka tidak sampai separuh dari total kursi stadion yang berkapasitas 100.000 penonton itu.
Di tengah tribun, berkibar bendera Merah Putih raksasa. Ribuan suporter dengan khidmat menyanyikan lagu sambil meletakkan tangan di dada. Elie Aiboy dan Mohd Safiq Rahim kemudian saling bertukar bendera, dan berbunyilah peluit awal wasit Kovalenko Valentin dari Uzbekistan. Lapangan hijau pun seketika berubah menjadi medan pertempuran.
Di awal babak, Indonesia langsung menekan. Beberapa penggawa "Garuda" seakan menunjukkan kemampuan tersembunyinya. Gebrakan ujung tombak dan sejumlah pemain gelandang membuat permainan Malaysia sempat dilanda ketegangan. Dua kali Irfan Bachdim mendapat peluang emas untuk membobol gawang Mohd Farizal Marlias.
Namun, situasi berbalik ketika Azamuddin Akil dan Mahali Jasuli membobol gawang Wahyu Tri Nugroho hanya dalam kurun waktu empat menit. Meski terus berusaha membalas, angka di papan skor raksasa stadion tidak berubah. Indonesia sedih karena hasil akhir terpampang 2-0 untuk Malaysia. Hasil yang sekaligus membuyarkan harapan jutaan rakyat Indonesia untuk menyaksikan anak bangsa meraih prestasi sepak bola.
"Inilah sepak bola. Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Saya yang akan tanggung jawab. Buat saya, anak-anak sudah tampil maksimal dengan potensi masing-masing dan telah berjuang sampai menit terakhir. Mudah-mudahan dengan potensi yang ada sekarang, ke depannya bisa segera baik," kata Nilmaizar seusai pertandingan.
Nilmaizar mungkin mencoba untuk tegar, tetapi tidak demikian dengan para suporter Indonesia. Tidak terdengar lagi nyanyian "Garuda di Dadaku" ataupun "Indonesia Raya" di tribun utara. Beberapa dari mereka pun terlihat satu per satu meninggalkan stadion meski pertandingan belum berakhir.
Demikian halnya dengan para penggawa timnas, mereka terdiam. Saat keluar ruang ganti menuju bus, kekecewaan besar terpampang di raut wajah Andik Vermansyah dan kawan-kawan. Tidak ada lagi canda tawa atau sosok "Ultraman" yang menari jenaka seperti terpampang setelah mereka berhasil membungkam Singapura.
"Saya tidak ingin berbicara banyak. Mudah-mudahan ke depannya kita semua satu hati, satu visi, satu perasaan, satu perbuatan, dan perkataan untuk bersama-sama membangun sepak bola yang lebih baik," ujar Nilmaizar.
Lamunan
Pernyataan Nilmaizar itu pun menjadi penutup perjalanan timnas Indonesia di Negeri Jiran. Sejatinya, publik sepak bola Indonesia bisa menilai perjuangan 22 anak bangsa demi menegakkan harkat dan martabat Indonesia. Mereka memang belum membuahkan hasil. Namun, peluh keringat mereka untuk mencari secercah prestasi rasanya sangat pantas diapresiasi.
Seperti pelatih berusia 42 tahun itu, sejak awal masyarakat Indonesia memang khawatir akan perjuangan timnas di Malaysia. Adanya beragam masalah antara Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) sejak awal terus membayangi perjalanan timnas dengan kalimat kegagalan.
Kendati demikian, publik tetap menyertai langkah skuad Garuda. Sejenak, mereka pun melupakan perseteruan PSSI dan KPSI. Bagi mereka saat ini, harapan untuk kedua organisasi itu boleh saja mati. Tetapi, tidak untuk perjuangan timnas dan sepak bola Indonesia yang akan selalu kekal sebagai lambang perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat Ibu Pertiwi.
Andik pun sempat mengeluarkan curahan hatinya seusai mengalahkan Singapura. "Masyarakat boleh membenci PSSI dan KPSI. Tapi, jangan membenci timnas karena kami selalu mengharapkan dukungan dari masyarakat Indonesia."
Jika publik meminta pertanggungjawaban atas semua kegagalan ini, maka seharusnya para pengurus itulah yang harus angkat bicara. Lihat saja, dengan adanya berbagai konflik yang berawal dari perseteruan mereka, peluh keringat 22 anak bangsa di lapangan sepak bola seperti terbuang sia-sia.
Harus ada kebersamaan dari sejumlah pengurus untuk membangun sepak bola Indonesia dengan hati. Mereka harus sadar, sama seperti Nilmaizar dan para penggawa timnas, 240 juta masyarakat Indonesia juga sangat berharap agar lamunan prestasi sepak bola yang sudah 21 tahun mati suri ini dapat segera terealisasi.
Haruskah menunggu 2014 hanya untuk menyatukan visi, misi, perasaan, perkataan, perbuatan di atas ketulusan, kejujuran, dan profesionalisme?
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !